SALAH satu faktor yang memengaruhi lahirnya kebudayaan suatu daerah adalah struktur dan kondisi alam dari daerah itu. Hal ini juga terjadi pada kebudayaan orang Rote, tempat asal alat musik sasando.
Keberadaan tanaman lontar di Pulau Rote cukup memberi arti bagi NTT karena dari pohon itu, ide membuat sasando muncul. Pohon lontar menjadi peletak dasar kebudayaan masyarakat.
Masyarakat Rote tidak hanya memanfaatkan tanaman ini sebagai sumber kehidupan, yaitu sebagai penghasil tuak, sopi (minuman tradisional), gula lempeng, gula air, gula semut, tikar, haik, sandal, topi atap rumah maupun bahan bangunan, tetapi lebih dari itu, masyarakat sudah menganggap tanaman ini memiliki nilai lebih karena sudah menginspirasi lahirnya alat musik sasando. Sampai sekarang daun pohon lontar ini masih tetap dipertahankan sebagai resonator alat musik ini.
Yusak Meok, salah satu pemateri pada seminar Musik Sasando di Hotel Kristal, beberapa waktu lalu mengatakan, Sasando yang seharusnya bernama sasandu (bunyi yang dihasilkan dari getar), lahir dari inspirasi penemunya dari hasil interaksi dengan alam.
Menurut Meok, ada berbagai versi mengenai sejarah tentang alat musik ini, diantaranya konon ada seorang pemuda bernama Sangguana pada tahun 1650-an terdampar di Pulau Ndana. Sangguana memiliki bakat seni, sehingga penduduk membawanya ke istana, kemudian putri istana terpikat dan meminta Sangguana menciptakan alat musik. Sangguana pun bermimpi pada suatu malam sedang memainkan alat musik yang diciptakannya, kemudian diberi nama sandu (bergetar).
"Ada jua cerita lain, alat musik ini ditemukan oleh dua penggembala yang bernama Lumbilang dan Balialang. Menurut cerita lain lagi, sasando ini ditemukan oleh dua sahabat yakni Lunggi Lain dan Balok Ama Sina," papar Meok.
Karena alat musik yang telah dipasang dalam haik itu beresonansi, maka disebut sandu atau sanu yang mempunyai arti bergetar atau getaran. Alat ini kemudian disebut sebagai sasandu yang berasal dari kata ulang sandu-sandu atau bergetar berulang- ulang.
Dengan perkembangan yang terjadi, maka sasandu ini lebih dilafalkan menjadi sasando, sehingga terbawa sampai saat ini. Namun, ucapan ini tidak mengubah bentuk dan suara dari alat musik ini.
Petrus Riki Tukan, pemateri lainnya, mengatakan, alat musik sasando merupakan sebuah fenomena budaya pada umumnya dan kesenian (musik) khususnya yang cukup menggoda naluri seniman.
Kiranya dengan perhatian SBY terhadap alat musik ini dapat mendorong semangat anak Flobamora untuk melestarikan, mengembangkan dan melindungi alat musik ini sebagai kebanggaan daerah NTT.
Sumber: http://www.pos-kupang.com/
Masyarakat Rote tidak hanya memanfaatkan tanaman ini sebagai sumber kehidupan, yaitu sebagai penghasil tuak, sopi (minuman tradisional), gula lempeng, gula air, gula semut, tikar, haik, sandal, topi atap rumah maupun bahan bangunan, tetapi lebih dari itu, masyarakat sudah menganggap tanaman ini memiliki nilai lebih karena sudah menginspirasi lahirnya alat musik sasando. Sampai sekarang daun pohon lontar ini masih tetap dipertahankan sebagai resonator alat musik ini.
Yusak Meok, salah satu pemateri pada seminar Musik Sasando di Hotel Kristal, beberapa waktu lalu mengatakan, Sasando yang seharusnya bernama sasandu (bunyi yang dihasilkan dari getar), lahir dari inspirasi penemunya dari hasil interaksi dengan alam.
Menurut Meok, ada berbagai versi mengenai sejarah tentang alat musik ini, diantaranya konon ada seorang pemuda bernama Sangguana pada tahun 1650-an terdampar di Pulau Ndana. Sangguana memiliki bakat seni, sehingga penduduk membawanya ke istana, kemudian putri istana terpikat dan meminta Sangguana menciptakan alat musik. Sangguana pun bermimpi pada suatu malam sedang memainkan alat musik yang diciptakannya, kemudian diberi nama sandu (bergetar).
"Ada jua cerita lain, alat musik ini ditemukan oleh dua penggembala yang bernama Lumbilang dan Balialang. Menurut cerita lain lagi, sasando ini ditemukan oleh dua sahabat yakni Lunggi Lain dan Balok Ama Sina," papar Meok.
Karena alat musik yang telah dipasang dalam haik itu beresonansi, maka disebut sandu atau sanu yang mempunyai arti bergetar atau getaran. Alat ini kemudian disebut sebagai sasandu yang berasal dari kata ulang sandu-sandu atau bergetar berulang- ulang.
Dengan perkembangan yang terjadi, maka sasandu ini lebih dilafalkan menjadi sasando, sehingga terbawa sampai saat ini. Namun, ucapan ini tidak mengubah bentuk dan suara dari alat musik ini.
Petrus Riki Tukan, pemateri lainnya, mengatakan, alat musik sasando merupakan sebuah fenomena budaya pada umumnya dan kesenian (musik) khususnya yang cukup menggoda naluri seniman.
Kiranya dengan perhatian SBY terhadap alat musik ini dapat mendorong semangat anak Flobamora untuk melestarikan, mengembangkan dan melindungi alat musik ini sebagai kebanggaan daerah NTT.
Sumber: http://www.pos-kupang.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar