Sebagai pusat budaya Jawa, Yogyakarta sangat kaya akan beragam jenis keris. Keberadaan keris kerap kali dilingkupi mitosmitos ”isi” dan kesaktiannya. Decak kagum sering terlontar ketika kita menatap keindahan artistiknya. Apalagi kegiatan pembuatannya selalu terbalut misteri.
UNESCO tahun 2005 pun mengukuhkan keris sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Memang tak dapat dimungkiri keris adalah mahakarya yang menyimpan rahasia hidup di dalamnya. ”Keris itu sinengker karana aris, artinya ada rahasia yang dipendam di dalamnya. Rahasianya adalah falsafah Jawa,” ungkap Ki Juru Bangunjiwo, pelaku budaya.
Sayang, falsafah kehidupan yang terkandung dalam keris belum banyak diketahui. Keris bukan sekadar senjata tajam, melainkan sejatinya adalah senjata untuk memerangi diri sendiri. Tentunya dari belenggu nafsu dan keserakahan duniawi. Dalam keris tercuat simbolisasi hidup baik, sesuai etika, norma, agama, dan negara.
”Akan tetapi, masyarakat masih terjebak pada mitos karena kita telah kehilangan akar budaya. Tulisan berisi ajaran keris dijarah Belanda dan Inggris, dipelajari di sana dan kita hanya ditinggali takhayulnya. Keris unggul dianggap sakti, padahal yang sakti itu orangnya,” ungkapnya.
Buku hidup Keris sesungguhnya adalah wahana untuk berdoa. Cita-cita dan harapan manusia Jawa dimantramkan dalam keris. Ia adalah sebuah keyakinan dan buku hidup. Wujud keris yang ber-luk (berlekuk) adalah simbol kebijaksanaan, sedangkan keris lurus adalah simbol keteguhan prinsip. Kebijaksanaan dan tekad itu harus seimbang dan akhirnya bermuara ke atas (Tuhan). Karena itu, keris ujungnya lancip.
”Kekaguman itu masih pada sisi artistiknya, fisiknya; belum pada seni hidup dan filosofinya. Padahal, budaya (keris) itu, kan, seni kehidupan. Filosofi itu harus dimasukkan dalam kehidupan manusia supaya lebih bermartabat. Karena itu, keris harus didalami filosofinya,” katanya.
Sultan Hamengku Buwono X, Raja Keraton Ngayogyakarta, pernah menyampaikan, keris merupakan bagian terpenting dalam kelompok tosan aji (senjata pusaka) yang di masa silam melambangkan status dan kewibawaan seorang manusia Jawa. Dalam dunia tosan aji, manusia Jawa merumuskan doa yang diwujudkan dalam sebentuk pusaka keris. Doa itu dilantunkan dalam laku, mulai tapa, matiraga, tapa bisu, dan lainnya.
Anggota Dewan Kebudayaan DIY, KH Abdul Muhaimin, menegaskan, keris menjadi sarana penyaluran energi positif dari para pembuat atau pemakainya sehingga menyalurkan kekuatan positif. ”Generasi muda cenderung tidak memahami keris karena minimnya transfer pengetahuan tentang keris,” kata Muhaimin.
ERWIN EDHI PRASETYA
Sumber: http://cetak.kompas.com/
UNESCO tahun 2005 pun mengukuhkan keris sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Memang tak dapat dimungkiri keris adalah mahakarya yang menyimpan rahasia hidup di dalamnya. ”Keris itu sinengker karana aris, artinya ada rahasia yang dipendam di dalamnya. Rahasianya adalah falsafah Jawa,” ungkap Ki Juru Bangunjiwo, pelaku budaya.
Sayang, falsafah kehidupan yang terkandung dalam keris belum banyak diketahui. Keris bukan sekadar senjata tajam, melainkan sejatinya adalah senjata untuk memerangi diri sendiri. Tentunya dari belenggu nafsu dan keserakahan duniawi. Dalam keris tercuat simbolisasi hidup baik, sesuai etika, norma, agama, dan negara.
”Akan tetapi, masyarakat masih terjebak pada mitos karena kita telah kehilangan akar budaya. Tulisan berisi ajaran keris dijarah Belanda dan Inggris, dipelajari di sana dan kita hanya ditinggali takhayulnya. Keris unggul dianggap sakti, padahal yang sakti itu orangnya,” ungkapnya.
Buku hidup Keris sesungguhnya adalah wahana untuk berdoa. Cita-cita dan harapan manusia Jawa dimantramkan dalam keris. Ia adalah sebuah keyakinan dan buku hidup. Wujud keris yang ber-luk (berlekuk) adalah simbol kebijaksanaan, sedangkan keris lurus adalah simbol keteguhan prinsip. Kebijaksanaan dan tekad itu harus seimbang dan akhirnya bermuara ke atas (Tuhan). Karena itu, keris ujungnya lancip.
”Kekaguman itu masih pada sisi artistiknya, fisiknya; belum pada seni hidup dan filosofinya. Padahal, budaya (keris) itu, kan, seni kehidupan. Filosofi itu harus dimasukkan dalam kehidupan manusia supaya lebih bermartabat. Karena itu, keris harus didalami filosofinya,” katanya.
Sultan Hamengku Buwono X, Raja Keraton Ngayogyakarta, pernah menyampaikan, keris merupakan bagian terpenting dalam kelompok tosan aji (senjata pusaka) yang di masa silam melambangkan status dan kewibawaan seorang manusia Jawa. Dalam dunia tosan aji, manusia Jawa merumuskan doa yang diwujudkan dalam sebentuk pusaka keris. Doa itu dilantunkan dalam laku, mulai tapa, matiraga, tapa bisu, dan lainnya.
Anggota Dewan Kebudayaan DIY, KH Abdul Muhaimin, menegaskan, keris menjadi sarana penyaluran energi positif dari para pembuat atau pemakainya sehingga menyalurkan kekuatan positif. ”Generasi muda cenderung tidak memahami keris karena minimnya transfer pengetahuan tentang keris,” kata Muhaimin.
ERWIN EDHI PRASETYA
Sumber: http://cetak.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar