Perang dengan Malaysia, itu bukan pilihan bijak. Seperti dikatakan Ketua DPR Marzuki Alie. Dia meminta masyarakat Indonesia untuk tidak terprovokasi.
Masalah Malaysia, kata Marzuki, harus diselesaikan dengan cara damai. Perang sama sekali tidak ada gunanya. "Menegakkan harga diri tidak hanya dengan perang," kata Marzuki Alie di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 1 September 2010.
Senada, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI dan The Indonesian Institute, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, kedua belah pihak akan sama-sama menderita jika perang jadi jawaban.
Jaleswari juga mengingatkan, warga Indonesia bisa saja bermodalkan semangat berkobar. Tapi kita juga harus realistis. Malaysia adalah anggota aliansi Five Power Defence Arrangements (FPDA) bersama dengan Singapura, Selandia Baru, Australia, dan Inggris.
"Jika Malaysia mengaktifkan klausul serangan terhadap satu negara anggota akan merupakan serangan terhadap anggota aliansi lainnya, maka kita bisa dikeroyok empat negara lainnya," kata Jaleswari.
Jangan lupa juga, Inggris adalah anggota pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang juga punya klausul sama.
Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan Jaleswari Pramodhawardani:
Jika perang terjadi, apa untung ruginya untuk Indonesia?
Untuk menuju perang tidak mudah. Selain kedua negara memiliki hubungan strategis di Asean, kedua kepala negara tidak berminat untuk mencari solusi itu -- jika mengamati statemen keduanya di media.
Urusan perang juga tidak mudah kedua belah pihak akan sama-sama menderita
Walaupun teknologi persenjataan Malaysia lebih modern dan banyak,
tapi untuk menang perang tidak hanya ditentukan oleh teknologi dan jumlah alutsista. Masih banyak elemen yang menentukan kemenangan perang, seperti kepemimpinan, strategi, jumlah pasukan, dan kondisi psikologis prajurit.
Bagaimana perimbangan kekuatan dua negara, juga melihat bahwa Malaysia terikat dengan FPDA?
Kita boleh modal semangat berkobar melawan Malaysia, tapi jangan lupa, musuh kita tidaklah Malaysia saja. Malaysia memiliki aliansi pertahanan FPDA yang anggotanya juga Inggris, Australia, Singapura, dan Selandia baru.
Jika malaysia mengaktifkan klausul, serangan terhadap satu negara anggota akan merupakan serangan terhadap anggota aliansi lainnya, maka kita bisa dikeroyok empat negara lainnya.
Belum lagi Inggris yang juga anggota NATO, dalam artikel 5 nya juga memiliki klausul yang hampir sama dengan FPDA.
Memang ada pendapat bahwa itu kan perjanjian tahun 1970-an yang pasti memiliki konteks yang berbeda. Tapi menurut saya, sepanjang klausul dalam aliansi pertahanan itu belum dicabut, tetap masih berlaku.
Apalagi setelah 30 tahun berdirinya aliansi ini mereka semakin memantapkan kerja samanya di bidang keamanan.
Apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri konflik ini?
Konflik bisa diakhiri jika kedua negara saling ada respek dan menghargai. Selama ini kasus dengan Malaysia dengan persoalan perbatasan saja sudah berulang kali terjadi. Tahun 2009 ada 14 kasus 2010 ada 11 kasus, belum lagi urusan lain.
Saya pikir, perlu ada terapi kejut untuk Malaysia, entah itu dalam bidang ekonomi, melalui pembatasan-pembatasan yang dilakukan atau warning keras lainnya.
Terapi kejut ini memperingatkan agar Malaysia memiliki respek sebagai negara yang bertetangga.
Kedua, mengaktifkan forum Asean. Selama ini forum Asean terkesan mandul. Tidak ada terobosan strategis yang dilakukan satu dekade ini. terutama untuk menyelesaikan perselisihan antar anggotanya.
Persoalan perbatasan juga persoalan pembangunan diplomatikyang tangguh dan kuat.
Sebaiknya dilakukan pemerintah dalam pertemuan RI-Malaysia 6 September nanti. Pada pertemuan tersebut perlu mendesakkan semangat nasionalisme Indonesia ke dalam kebijakan luar negeri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar