Pemakaian sumber energi dari fosil seperti minyak bumi, gas, dan batubara telah mengalami peningkatan yang sangat pesat dalam beberapa puluh tahun terakhir. Pemakaian ini diprediksikan akan tetap berlanjut dalam beberapa tahun ke depan. Masalah yang timbul dengan pemakaian sumber energi dari fosil tersebut adalah meningkatnya kandungan CO2 di atmosfer yang terjadi akibat proses pembakaran dari sumber energi fosil tersebut. Oleh sebab itu, sangatlah diperlukan pengembangan teknologi yang berfungsi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan efek dari CO2. Peningkatan pencemaran CO2 di atmosfer dapat kita lihat dari bukti-bukti yang ada diantaranya perubahan iklim dan acidifikasi dari lautan. Peningkatan CO2 salah satunya dipacu oleh meningkatnya kebutuhan sumber energi dari fosil di India dan Cina dimana sebagian besar populasi dunia terpusat di kedua negara tersebut. Peningkatan pencemaran inilah yang mendorong beberapa ilmuwan untuk mengembangkan teknologi yang berguna untuk mengatasi bertambahnya konsentrasi CO2 yang ada. Diantara teknologi yang saat ini dikembangkan adalah CCS (Carbon Capture and Storage). Teknologi ini pada dasarnya adalah memisahkan dan menyimpan kandungan CO2 yang terbentuk akibat pembakaran bahan bakar fosil. Pemisahan CO2 dari campuran gas yang terbentuk akibat pembakaran bahan bakar fosil disebut carbon capture (penangkapan karbon). Saat ini ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam pemisahan karbon yaitu metoda sebelum pembakaran, metoda setelah pembakaran, dan metoda pembakaran Oxyfuel. Metoda sebelum pembakaran (pre-combustion) adalah metoda pemisahan karbon dari campuran hydrogen dan CO2 akibat pembakaran yang tidak sempurna dari gas alam. Hidrogen kemudian dibakar untuk menciptakan tenaga listrik. Metoda setelah pembakaran (post-combustion) adalah metoda penangkapan tekanan rendah dari CO2 dari gas setelah pembakaran. Ini dilakukan pada pembangkit listrik yang besar dan juga proses-proses industri. Metoda pembakaran Oxyfuel adalah metoda yang mengganti proses pembakaran dengan cara membakar bahan bakar fosil dengan oksigen murni . Proses pembakaran dengan cara ini hanya menghasilkan CO2 dan air yang sangat mudah dipisahkan nantinya. Setelah penangkapan karbon, proses berikutnya adalah penyimpanan dari CO2 itu sendiri.
Ada tiga alternatif yang dapat dilakukan dalam penyimpanan CO2.
1. Memasukkan CO2 ke dalam tanah terutama pada lapangan-lapangan minyak dan gas yang bertekanan rendah sehingga nantinya mampu diharapkan untuk membantu mendapatkan minyak dan gas dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya. Proses ini banyak dilakukan pada tahapan EOR (Enhanced Oil Recovery) di sumur-sumur minyak yang telah berproduksi. Resiko dari cara ini adalah mungkinnya terjadi kebocoran sehingga CO2 nantinya dapat terlepas kembali ke atmosfer. Ini dapat terjadi karena berat jenis gas CO2 yang relative kecil.
2. Memasukkan CO2 ke bawah dasar lautan terutama yang mempunyai kedalaman lebih dari 3000 meter. Pada kedalaman ini, berat jenis dari CO2 akan cukup besar dan dapat lebih besar dari air sehingga CO2 susah untuk menerobos ke atas dan menyebabkan terjadinya kebocoran.
3. Melakukan mineral karbonisasi yatu dengan mereaksikan CO2 dengan magnesium atau kalsium oksida sehingga mampu menghasilkan mineral-mineral karbonat.
Dari ketiga alternatif diatas, sepertinya alternatif kedua yaitu memasukkan CO2 ke bawah dasar lautan sangatlah dapat diterima dan diharapkan dapat dilakukan secepat mungkin. Beberapa peneliti bahkan merekomendasikan untuk mewujudkan alternative kedua. Salah satu diantaranya adalah peneliti Charles Harvey dari MIT. Dia menjelaskan bahkan sedimen laut dalam yang ada sangatlah besar dan mampu menjadi reservoir dan menampung CO2 sampai beberapa ribu tahun mendatang. CO2 yang diinjeksikan ke bawah permukaan memang sangat ringan sehingga mempunyai potensi untuk menerobos ke permukaan. Tetapi kasus ini sangat kecil terjadi di laut dalam dimana lantai samudera sangatlah dingin sehingga fluida CO2 yang disimpan di bawah lantai samudera berubah menjadi lebih berat dari air dan tidak mampu muncul ke permukaan. Kombinasi dari temperature yang sangat rendah dan tekanan yang sangat besar mampu mengubah CO2 menjadi cairan yang lebih berat dari air. Lebih jauh lagi, pada tekanan dan temperature yang sangat ekstrim, CO2 yang diinjeksikan akan membentuk kristal-kristal hydrate, padatan yang menyerupai es yang membantu menutup pori-pori batuan sehingga membantu proses sealing dari batuan penutup di atasnya.
Kurt Zenz House, lulusan Harvard yang tergabung dalam penelitian mengatakan bahwa sekitar 22 persen atau sekitar 1.3 juta kilometer persegi dari ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dari lantai samudera di Amerika mempunyai kedalaman lebih dari 3000 meter. Dalam penelitiannya dia juga mengungkapkan bahwa pembuangan CO2 di Amerika per tahunnya dapat disimpan di sediment bawah laut dengan luas 80 kilometer persegi. Dengan perhitungan inilah dia menyatakan bahwa sediment di bawah laut mampu menyimpan CO2 dalam beberapa ribu tahun ke depan.
Peneliti-peneliti lainnya juga mengungkapkan bahwa sediment yang tipis dan permeable tidak cocok digunakan untuk menyimpan CO2 seperti daerah slope atau daerah yang cukup curam karena longsoran mampu membuat gas untuk keluar ke atmosfer.
Referensi :
1. U. S. Department of Energy , http://www.fossil.energy.gov/
2. Occidental Petroleum Corp., http://www.oxy.com
3. Massachusetts Initute of Technology, http://web.mit.edu/
4. Harvard University, http://www.hno.harvard.edu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar